EconomicReview – Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mulai dari konsep, naskah akademik, sampai dapat menjadi rancangan undang-undang memang sudah melalui proses yang sangat panjang. Pro dan kontra juga terus mengiringi pembahasannya. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menegaskan sangat mendukung terciptanya suatu sistem perlindungan yang komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk kekerasan, terutama bagi kelompok rentan perempuan dan anak dari kekerasan seksual.
“Melihat dari data yang ada saat ini dapat dikatakan Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Hal ini yang menjadi salah satu urgensi dari disahkannya RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Marilah bersama-sama kita menjadikan momentum ini sebagai kesempatan untuk terus mengadvokasi, mengedukasi, serta membangun kepercayaan masyarakat,” ungkap Menteri Bintang dalam sambutannya menutup Diskusi Online Korps Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-Wati) dengan tema “Solusi terhadap Pro dan Kontra RUU PKS di tengah maraknya Kekerasan Seksual”.
Menteri Bintang menambahkan memang tidak dapat dipungkiri bahwa asumsi yang bermunculan akibat interpretasi terhadap RUU PKS ini merupakan polemik yang menyebabkan pro dan kontra dari masyarakat. Kita hanya perlu duduk bersama untuk mengemukakan pendapat dan mencari jalan tengah tentang perbedaan cara pandang ini, karena saya yakin baik pihak pro maupun kontra pasti punya satu tujuan yang sama yakni menciptakan payung hukum yang komprehensif.

Penggiat Sosial dan Sekeretaris Jendral Majelis Nasional Forum Alumni HMI Wati (MN FORHATI), Jumrana Salikki mengatakan RUU PKS bukanlah satu-satunya solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan seksual terhadap perempuan, kita jangan hanya memikirkan cara untuk menghapuskan akan tetapi perlu ada upaya preventif atau pencegahan dari hulu ke hilir. Isu kekerasan seksual terhadap perempuan membentuk suatu sistem yang kompleks, selain upaya penanganan dan perlindungan korban, upaya preventif juga harus dibentuk dengan baik seperti pendidikan reproduksi sejak dini bagi anak-anak, peningkatan keharmonisan keluarga, kemandirian ekonomi keluarga dan lainnya. Meskipun kami kontra, akan tetapi tujuan kami sama dengan pihak yang pro terhadap RUU PKS yakni menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Jumrana.
Berdasarkan data Sistem Informasi Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tanggal 1 Januari 2020 sampai 24 Juli 2020 menurut tahun pelaporan menunjukkan bahwa kasus Kekerasan terhadap Perempuan Dewasa (KtP) sebanyak 3.020 kasus dengan 3.059 korban. Sedangkan korban Kekerasan Seksual sebanyak 432 orang. Berdasarkan data yang sama, kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) sebanyak 4.116 kasus dengan 4.615 korban, adapun korban Kekerasan Seksual bagi anak berjumlah 2.556 korban, yang berarti sekitar 55,38 persen korban KtA adalah korban kekerasan seksual. Sementara itu, data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kemen PPPA yang bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dari 9.000 sampel rumah tangga, diketahui pada tahun 2016 terdapat 1.017 atau 11,3 persen perempuan dan anak yang mengalami kekerasan seksual.
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengungkapkan jika sudah banyak pihak yang tahu dan paham urgensi pengesahan RUU PSK untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dari segala bentuk kekerasan. “Isu kekerasan seksual ini bak fenomena gunung es, dimana permasalahan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks dan lebih besar daripada permasalahan yang terlihat di permukaan sehingga perlu kerjasama dari seluruh pihak terutama mahasiswa dan FORHATI. Kita semua tentu menyesalkan sikap Komisi VIII DPR yang memutuskan untuk menarik RUU PKS dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Penarikan ini menimbulkan banyak kontra dari berbagai pihak termasuk mahasiswa, akan tetapi ini menjadi momentum untuk kembali mensosialisasikan kepada masyarakat urgensi RUU PKS ini,” ujar Bahrul.
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) 2018-2020, Siti Fatimah Siagian menuturkan diskusi kali ini sebagai awal untuk sama-sama baik pro maupun kontra terhadap RUU PKS untuk berdiskusi menyamakan cara pandang demi terwujudnya suatu sistem hukum yang melindungi dan menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, tujuan diskusi hari ini adalah berharap adanya ruang khusus pertemuan bagi pihak yang pro dan kontra agar dapat berjalan bersama untuk mengesahkan RUU PKS,” ujar Siti.